Senin, 22 September 2014

Bisakah Kita Melupakan Hujan Kemarin




Bisakah kita melupakan hujan kemarin? Saat tangan mu menggenggam erat tangan ku yang kian bergetar. Bukan karena hujan, tapi karena mantra yang kau rapal seakan menarik ku kejalan yang sudah ku tinggalkan bertahun silam.

Kenapa baru sekarang kau datang? Setelah aku benar-benar mantab melenggang tanpa beban yang bersitegang. Bahkan aku sudah lupa bahwa kau orang yang pernah menoreh luka disetiap dinding-dinding hati ku yang merang. 

Aku sudah kebal dengan wajah penuh permohonan mu yang seakan tak tahu malu. Terus mendesak ku, tanpa mengingat bahwa kita sudah berakhir bertahun-tahun lalu. 

Dulu kita sudah sepakat bahwa jalan kita memang berbeda, Tapi Karena asmara yang terus menggerogoti nafsu, kita dengan egois membuat jalan kita bersatu. 

Ini juga memang salah ku, yang terlalu percaya bahwa dengan sebuah penyatuan kebahagian akan kita miliki. Setelah lama menyusuri, ternyata kita hanya terikat dalam kesia-sian yang terus merajai. Kita saling menikam  hanya untuk mencari kebahagian yang sebenarnya tak pernah bisa kita tanami.

Sekali lagi ku mohon, bisakah kita melupakan hujan kemarin? Karena aku sudah menyerah untuk berjalan beriringan dengan mu. Batu kerikil atau kubangan derita tak masalah bagi ku. Aku hanya tak sanggup menyusuri jalan ketidakpastian yang penuh rayu semu.



Gambar : Google

Senin, 08 September 2014

Andai Saja





Tak mungkin aku lupa. Waktu itu kita berpegangan tangan begitu mesra.
Sampai aku tak mengingat bahwa bumi yang kita pijak adalah fana.
Anggap lah aku wanita paling bahagia yang tak pernah tersentuh luka.
Sampai hari ini tiba, aku sadar semuanya telah sirna.
Aku terbuai begitu dalam kekubangan bahagia, tanpa ku sadar dibawah sana telah menanti kawat kawat nestapa.

Andai saja waktu itu aku berpegang pada nyata.
Mungkin sekarang lukanya tak begitu menganga. Menyesal? Aku tak berpikir kearah sana. Yang ku pikirkan sekarang apakah ada obat penawar derita.

Andai saja detik itu juga aku terbangun dari mimpi semu yang kian meramu.
Aku tak akan sesesak ini saat berhadapan dengan siang di gunung talakmau.

Entah penyesalan  atau apa yang sedang berseliweran dikepala.
Yang pasti aku terus merapal kalimat andai saja sampai mulut ku berbusa.
Waktu seakan acuh, tak peduli dengan tubuh ku yang terus mengucurkan darah berlimpah. Bahkan ia terus melangkah dengan aku yang terus berteriak melontarkan kalimat andai saja tanpa lelah.



Gambar : Google

Berdamai dengan Masa Lalu




Sudah ku bilang, aku akan berdamai dengan masa lalu. 
Lantas untuk apa kau datang, lalu minta maaf atas salah yang bahkan kau anggap angin lalu.


Kita sama sama perempuan yang dikelabui ego. 
Aku sudah menyerah, dipermainan yang bahkan aku sendiri tak tahu bahwa aku sedang di curangi. 
Yang ku ingat saat itu semuanya berwarna merah jambu, seperti bunga sakura yang mekar ditengah musim semi. 
Aku juga tak menyadari kau hadir disana menggenggam tangan yang sama seperti yang ku genggam. 
Saat aku menoleh semuanya sudah terlambat. Kalian sudah berpegangan begitu erat. Dan aku sendirian mendekap gelap.


Melihat mu sama dengan membuka luka baru. 
Ingin rasanya ku kibarkan bendera perang yang ku sembunyikan beabad abad di kedalaman semeru. 
Tapi aku sudah berjanji ingin berdamai dengan masa lalu.




Gambar : Google 

Sabtu, 06 September 2014

Kita dan Hujan yang Merekat








Kita telah melalui puluhan musim.
Aku lupa kapan tepatnya kita menjadi lekat, yang aku ingat waktu itu hujan mengguyur atap tempat kita berpijak.
Kita sama sama tak mengenal dekat tapi sunyi memaksa kita saling bertatap, serta bercakap.
Kau bilang ingin segera pulang karna waktu terus berdetak berteriak, mengharus kan kau sampai dirumah tak terlambat.
Tapi kala itu hujan begitu ganas menyeruakkan airnya hingga tempias.

“Kau akan sakit bila menerobos hujan!” Kata ku.

Senyum mu membinggukan. Seakan aku lelucoan.
Lalu kau berkata bahwa aku perempuan pertama yang melarang mu menerobos hujan.
Juga orang ketiga setelah Ayah serta kekasih mu yang tak ingin kau sakit karena kedinginan.

Setelah hujan itu, kita menjadi akrab tak terikat tapi begitu merekat.




Gambar : Google

Aku Tahu Ke





Ke, ingat kah kau? Kita sudah berbagi banyak  kisah tentang musim, serta goresan luka yang melekat pada larik larik hati yang meretak.
Saling mengokohkan saat yang lain mulai tumbang.
Menopang dengan kisah naas yang selalu mengiang ngiang.

Kau perempuan yang ku kenal paling tangguh sekaligus rapuh.
Perempuan pertama yang memasang topeng tebal dengan lapisan baja berlukis senyum kebahagian.

Dengan sumringah kau membawa ku menuju cerita indah.
Didetik selanjutnya kau menggiring ku kedalam kubangan luka serta derita paling megah.

Mengenal mu membuat ku harus memiliki jantung kuat.
Juga mata dan telinga yang harus terjaga setiap saat. 

Aku tahu Ke. Dari gurat wajah mu pun, aku sudah bisa membaca tentang berapa banyak badai yang kau lewati seorang diri.
Gelombang yang sudah kau terjang dengan piawai.
Dan juga jalan penuh kerikil tajam yang kau lalui tanpa alas kaki.
Hingga hati mu mengeras bak  besi. 

Tapi Ke, saat cinta mulai membakar mu,
semua pertahanan mu meleleh.
Kau kebingungan,
seperti amatir yang tak pernah memegang kemudi kapal dipusaran badai.




Gambar : adoelphoto